
Probolinggo, IDN Times – Perjalanan menuju Amphitheater Jiwa Jawa Resort Bromo dari Grand Whiz Bromo, tempat rekan media menginap, hanya membutuhkan waktu sekitar 30 menit. Sesekali kami berpapasan dengan mobil jeep yang baru saja turun dari Bromo setelah melihat sunrise, menciptakan pemandangan khas menuju Jazz Gunung Bromo Series 1.
Keunikan Jazz Gunung, yang telah sukses diselenggarakan selama 17 tahun terakhir, terletak pada pengalaman unik menikmati penampilan jazz di tengah dinginnya cuaca pegunungan dan di alam terbuka. Sigit Pramono, founder Jazz Gunung, memiliki visi besar: untuk memberikan alasan lain bagi orang-orang datang ke Bromo.
“Saya ingin orang lebih lama di sini sehingga orang punya alasan lain datang ke Bromo selain lihat matahari terbit, yaitu Jazz Gunung,” tutur Sigit melalui konferensi pers yang berlangsung tepat saat jam makan siang, menegaskan tujuan festival ini.
Jazz Gunung Bromo Series 1 menghadirkan enam musisi ternama yang siap menghibur penonton di ketinggian 2000 mdpl. Sebelum puncak acara dimulai, pengunjung diajak untuk menikmati penampilan istimewa dari Papermoon Puppet Theatre, sekaligus mengenal lebih dekat pemukiman di sekitar venue. Mari ikuti perjalanan kami menikmati keseruan Jazz Gunung Bromo Series 1 yang diselenggarakan pada Sabtu (19/7/2025)!
1. Papermoon Puppet Theatre ajak pengunjung mengenal pemukiman di sekitar Jazz Gunung Bromo Series 1
Tepat pukul 09.36 WIB, rombongan siswa-siswi SDN Jetak, rekan media, dan pengunjung dewasa mulai beranjak menuju lokasi pertama Papermoon Puppet Theatre. Dari kejauhan, sosok Mbah Kunta tampak tertidur di pasar yang sudah sepi, menjadi pemandangan pembuka. Pertunjukan ini uniknya tidak digelar di Amphitheater, dan Ria, founder Papermoon Puppet Theatre, memiliki alasan khusus di balik pilihan tersebut.
“Gak bisa dikasih panggung gede, saya stres tuh ngelihat panggung cantiknya Mas Bagas. Gemeter aku pengen opo neng kono, boneka aku cilik. Boneka aku kecil,” cerita Ria sambil sesekali menoleh ke arah Bagas Indyatmono, CEO Jazz Gunung Indonesia, menjelaskan tantangan pertunjukan boneka di panggung besar.
Melewati jalan setapak yang sudah rata, pengunjung kembali diajak bertemu dengan Pak Tani, lalu menonton teater di alam terbuka. Papermoon Puppet Theatre berharap agar pengunjung Jazz Gunung tidak hanya menikmati penampilan musisi jazz legendaris, melainkan juga mengenal lebih dekat kehidupan masyarakat di sekitar venue.
“Kita ambil cerita-cerita keseharian. Kami pengin teman-teman yang ada di sekitar venue Jazz Gunung ini, seharusnya cerita mereka juga kita dengar. Jadi it’s not just only about nonton para legend bermain di atas panggung musik,” tambah Ria yang bercerita dengan penuh semangat.
2. Emptyyy dan Love Is jadi salah satu penerus ekosistem jazz di Indonesia
Saat sore hari mulai menyelimuti Amphitheater Jiwa Jawa Resort Bromo, beberapa bangku VIP dan tribun berbahan dasar batu sudah mulai terisi oleh pengunjung yang antusias menyaksikan penampilan Emptyyy sebagai pembuka. Suara harmonika yang dibawakan oleh Rega Dauna mendominasi melodi dan instrumen dari grup trio bergenre jazz-rock ini, menciptakan suasana yang energik.
Jika sesi sore Jazz Gunung Bromo Series 1 dibuka dengan Emptyyy, di malam harinya, Love Is mengambil alih panggung, menghibur pengunjung lewat 6 dari 8 lagu di album kedua mereka bertajuk Made to Believe (2025). Sebuah fakta menarik terungkap: Love Is baru dihubungi Bagas sekitar 4 hari sebelum Jazz Gunung Bromo Series 1 dimulai, menunjukkan betapa spontannya penambahan mereka dalam daftar penampil.
“Ada salah satu penampil yang berhalangan lah, terus 3 hari lalu, Mas Bagas telepon, ‘Sabtu free, gak?’ ‘Maksudnya saya sendiri?’ ‘Bukan, Love Is.’ ‘Kenapa?’ ‘Iya bisa main gak di Jazz Gunung?'” tutur Jason Mountario mengulang momen mendebarkan saat Bagas mengundang Love Is sebagai pembuka sesi malam hari Jazz Gunung Bromo Series 1, sebuah panggilan tak terduga yang berbuah penampilan memukau.
3. Penampilan Jamie Aditya yang jazz abis
Sebagai penampil kedua di malam yang dingin, Jamie Aditya sukses memukau penonton dari berbagai generasi dan selera musik yang berkumpul di ketinggian 2000 mdpl tersebut. Tempo lagu yang cepat dipadu dengan gaya panggung yang jenaka justru berhasil meningkatkan antusiasme penonton, menciptakan interaksi yang menyenangkan.
“Menurutku penampilannya bisa masuk bahkan untuk orang-orang yang gak akrab sama jazz. Soalnya dia punya gaya panggung yang interaktif dan menyenangkan,” kata Shofi, seorang mahasiswa asal Jakarta yang mengaku terkesima dengan pilihan lagu-lagu Jamie Aditya yang unik dan segar.
Jamie sendiri mengakui bahwa ia memang suka bercanda, bahkan ketika mengaransemen lagu-lagu yang akan ia dan The Mezzrollers mainkan. Fakta uniknya, lagu-lagu di era 1920, 1930, dan 1940 adalah tembang favorit penyanyi kelahiran Australia tersebut, menunjukkan kecintaannya pada musik klasik jazz.
“Gua itu orangnya suka bercanda dan melodi pada era (1920, 1930, dan 1940) itu buat gue mudah buat dimain-mainin. Karena kalau gua senang sama musik yang gua mainin, Insya Allah yang nonton juga senang,” jelas Jamie, sambil sesekali menggerak-gerakkan tangannya sesuai dengan tempo saat berbicara, memancarkan energi positifnya.
4. Nostalgia bersama Kuaetnika dan Karimata
Kuaetnika menjadi satu-satunya grup yang selalu hadir memeriahkan Jazz Gunung selama 17 tahun terakhir, menandai kehadiran mereka yang konsisten dan dicintai. Di sela-sela penampilan yang penuh harmoni, Kuaetnika membagikan lebih dari seratus kentongan kepada para penonton. Mereka diminta untuk membunyikan kentongan sesuai irama lagu-lagu yang dibawakan grup asal Yogyakarta itu, menciptakan kolaborasi musik yang tak terlupakan antara musisi dan penonton.
“Kuaetnika itu di panggung pemainnya sepuluh dan ada sebelas karena penonton jadi bagian integral. Penonton itu pemain yang terakhir,” tutur Purwanto kepada rekan media usai penampilan Kuaetnika, saat matahari sudah mulai terbenam, menyoroti peran aktif penonton dalam setiap pertunjukan mereka.
Semakin malam, suasana di Amphitheater Jiwa Jawa Resort Bromo justru semakin ramai dan hangat, terutama menjelang penampilan legendaris Karimata. Membawakan lagu-lagu lawas yang membangkitkan kenangan, Karimata sukses mengajak penonton bernostalgia dalam balutan melodi jazz yang menawan.
“Lagu pertama judulnya ‘Dahaga,’ ciptaan Erwin Gutawa. Kemudian lagu kedua, ‘Relief,’ diciptakan oleh Denny TR. Tapi Erwin Gutawa dan Denny TR tidak bisa hadir kali ini di sini. Dan yang ketiga adalah ‘Gringgo.’ Ya semoga bisa membuat anda lebih hangat di cuaca yang dingin ini,” tutur Candra Darusman, kibordis Karimata, saat mereka tampil di hadapan penonton, menghantarkan lagu-lagu ikonik mereka dengan penuh makna.
5. RAN berhasil menghangatkan Amphitheater Jiwa Jawa Resort di tengah cuaca dingin
Menjelang pukul 21.00 WIB, Amphitheater Jiwa Jawa Resort mulai dipadati penonton di segala sudut. Antusiasme memuncak, bahkan rekan media yang semula mendapat tempat duduk di sisi kiri venue memilih untuk berdiri di belakang bangku VIP agar bisa mengabadikan setiap momen penampilan RAN yang dinanti-nantikan.
Grup yang dipunggawai oleh Rayi, Asta, dan Nino ini baru memasuki ruang tunggu artis sekitar pukul 21.20 WIB. Sekitar 20 menit kemudian, penampilan mereka dibuka dengan melodi bernuansa jazz yang dibawakan oleh Asta, gitaris RAN, dan langsung diikuti dengan lagu “Hey Tunggu Dulu” (2024), menyambut penonton dengan energi segar.
Setelah membawakan single baru mereka bertajuk, “Masih Takut Mencinta” (2025) untuk pertama kalinya, tempo musik yang disajikan RAN semakin kencang dan membangkitkan antusiasme penonton ke level tertinggi. Bahkan, di tiga lagu terakhir, RAN mengajak penonton Jazz Gunung Bromo Series 1 untuk sing along dan maju mendekati stage, menciptakan momen kebersamaan yang tak terlupakan.
“Oke, tapi sekarang joget dulu, ya!” ujar Nino dilanjutkan dengan joget bersama Asta dan Rayi saat intro lagu “Kulakukan Semua Untukmu” (2011), menghangatkan suasana dan membuat seluruh penonton ikut menari.
Tak hanya diajak menyaksikan penampilan para musisi di panggung Amphitheater Jiwa Jawa Resort Bromo, pengunjung juga bisa melihat Papermoon Puppet Theatre, pameran seni yang menginspirasi, hingga bazar UMKM yang menampilkan produk lokal. Apakah kamu punya rencana untuk menonton Jazz Gunung Bromo Series 2 dan 3?
RAN Ajak Penonton Jazz Gunung Bromo Series 1, Ngegalau hingga Joget Papermoon Puppet Theater Jazz Gunung Bromo: Bikin Boneka Sayur!